Rabu, 01 Desember 2010

Contoh Amdal(PRAKTEK PENAMBANGAN TIMAH DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG MEMBAWA KERUGIAN BAGI MASYARAKAT)


PENDAHULUAN

1.Pengantar
            Praktek penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung akhir-akhir ini telah menjadi suatu aktivitas keseharian bagi sebagian besar masyarakat di pesisir pantai. Di daerah perarian Bangka dan Belitung, praktek menambang timah di laut ini kian marak dilakukan secara masal. Dalam sehari puluhan ton timah disedot dari dasar laut. Setelah pasir timah itu diambil, limbah berupa tanah dibuang lagi ke laut. Bagi perusahaan resmi seperti PT. Timah, penambangan dilakukan dengan menggunakan kapal besar yang berfungsi untuk menyedot timah dari dalam tanah di bawah laut, sementara bagi perusahaan-perusahaan swasta yang lebih kecil, penambangan dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal sedang. Kegiatan menambang timah di laut ini pun mulai ramai dilakukan oleh penambang di luar PT. Timah pada tahun 2006 sehingga mendorong masyarakat setempat, yang awalnya berprofesi sebagai nelayan, membanting setir menjadi penambang timah. Hal itu dilakukan dengan alasan bahwa keuntungan yang didapat lebih besar daripada melaut untuk mencari ikan. Dalam waktu seminggu mereka dapat menghasilkan uang dari Rp 400.000,- hingga Rp. 1.000.000,-. Apabila mereka pergi melaut, keuntungan yang didapat belum tentu mencapai seperempat dari keuntungan menambang timah. [Yulvianus Harjono dan Wisnu Aji Dewabrata, Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010]. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari luar kepulauan untuk melakukan aktivitas yang sama, yaitu mengeruk sumber daya timah yang dimiliki oleh bumi laskar pelangi tersebut. Aksi ini kemudian mengundang para penambang ilegal yang berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan untuk keuntangan pribadi.
Munculnya Masalah Kerusakan Laut
Pengerukan tanah yang dilakukan dalam penambangan timah di lepas pantai kepualuan Bangka Belitung menyebabkan rusaknya topografi pantai. Pantai yang sehat adalah pantai yang memiliki bentuk tanah yang landai. Akan tetapi, kegiatan penambangan timah membuat struktur tanah di lepas pantai menjadi lebih curam sehingga daya abrasi pantai menjadi semakin kuat.
Akibat lain yang ditimbulkan dari pengerukan tanah di dasar laut adalah berubahnya garis pantai yang semakin mengarah ke daratan. Pengerukan tanah dan pembuangan sedimen juga menyebabkan air laut menjadi keruh. Dengan makin maraknya aktivitas penambangan, intensitas kekeruhan air semakin tinggi dan radiusnya ke kawasan lain di luar kawasan penambangan semakin luas. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa kawasan terumbu karang yang bukan merupakan wilayah penambangan mendapatkan imbas kekeruhan air. Sedimentasi tanah yang menjadi penyebab kekeruhan air ini akan menutup dan mematikan terumbu karang. Matinya terumbu karang akan merusak habitat kehidupan laut yang indah; lingkungan laut akan berubah menjadi habitat alga yang merugikan. Oleh karena itu, kerusakan laut di lepas pantai di Kepulauan Bangka Belitung menjadi semakin parah.
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan meyatakan bahwa terumbu karang semakin terancam kehidupannya karena ulah pelaku tambang. Indra Ambalika, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung, megatakan bahwa sejak tahun 2006 ekosistem laut di Bangka Belitung semakin parah daripada di daratan. Kehancuran terumbu karang yang mencapai 40 persen di perariran Bangka disebabkan oleh PT. Timah yang melakukan penambangan timah selama puluhan tahun sehingga habitat ikan-ikan terganggu, bahkan para nelayan sudah sangat sulit untuk mendapatkan ikan. PT. Timah memang telah melakukan perbaikan lingkungan laut, tetapi sistem rehabilitasi lingkungan yang diterapkan dianggap belum memadai. Pihak PT. Timah hanya menaruh rumpon tanpa penanganan yang berlanjut. [Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010, hlm. 1 dan 15]
Mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung adalah menangkap ikan, tetapi profesi nelayan ini terganggu karena penambangan timah. Kerusakan ekosistem laut yang terjadi menyebabkan rusaknya habitat tumbuhan dan binatang laut. Karena semakin sulit mendapatkan ikan, keuntungan yang di dapat oleh nelayan semakin kecil pula. Situasi seperti ini kemudian mendorong sebagian besar nelayan untuk merubah profesi menjadi penambang timah inkonvensional (TI) apung dengan menggunakan perahu-perahu kecil atau bagan terapung, baik secara legal (menjalin kerja sama dengan PT. Timah atau perusahaan swasta yang memiliki izin resmi) maupun secara ilegal dengan menjadi cukong atau bekerja kepada cukong tambang timah ilegal. [Ibid., hlm. 15]
Kegiatan menambang secara ilegal ini juga menelan korban. Para penambang harus menyelam hingga kedalaman empat puluh meter untuk menancapkan pipa penyedot timah. Mereka menyelam dengan menggunakan perlengkapan sederhana, seperti masker dengan udara dari kompresor dan alat pengisap pasir merek Dongfeng. Tidak sedikit dari mereka yang harus mengalami pendaharahan di telinga atau hidung saat menyelam, dan terkadang ada juga yang kehilangan nyawa. [Yulvianus Harjono, loc.cit., hlm. 15]
Selain menyebabkan berubahnya topografi tanah pada pantai, kegiatan penambangan timah yang semakin marak ini juga menimbulkan kekhawatiran akan menipisnya persediaan timah di perairan Bangka dan Belitung. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah setempat dengan membuka izin penambangan timah dalam skala kecil dan menengah atau tambang inkonvensional memberikan efek berupa semakin membabi butanya kegiatan penambangan oleh masyarakat setempat dan juga oleh beberapa perusahaan peleburan timah skala menengah di Pulau Bangka. Karena semakin banyak badan usaha yang beroperasi, menyebabkan persaingan pertambangan timah semakin tinggi. [Indra Ambalika Syari, ditulis dalam Rubrik Opini, Harian Bangka Pos], [diakses dari http://www.ubb.ac.id/ ], [data diakses pada tanggal 23 Mei 2010, pukul 05:00 PM]. Harga yang dipatok oleh pengumpul timah swasta semakin tinggi sehingga masyarakat berlomba-lomba untuk meningkatkan produksi timah. Jika kegiatan membabi buta ini tetap berlanjut, cadangan timah yang ada di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan akan habis pada tahun 2027. [Yulvianus Harjono, loc.cit., hlm. 15]
Konsep Kejahatan Lingkungan dan Konstruksi Pemikiran
Praktek penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung dapat dikaji dengan melihat kerangka pemikiran tentang kejahatan lingkungan. Kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau badan hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Permasalahan kejahatan terhadap lingkungan ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Dorongan melakukan kegiatan mengeksploitasi alam ini tumbuh sebagai akibat pertentangan antara pemenuhan kebutuhan dasar hidup dengan pemanfaatan sumber daya alam secara sengaja atau tidak sengaja.
Suatu tindakan dikatakan sebagai kejahatan lingkungan apabila tindakan tersebut memberikan efek yang merugikan terhadap lingkungan dan dilakukan secara berulang-ulang. Namun pembuktian terhadap kejahatan ini sangat sulit, dilakukan oleh korporasi (pembuktian terbalik) dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Usaha pembuktian dilakukan dengan bantuan sebuah badan yang dikenal sebagai mediator, contohnya adalah LSM.
Pihak yang menjadi korban dari kejahatan lingkungan dapat berupa manusia dan lingkungan. Pelaku bukan hanya orang atau perusahaan, tetapi juga merupakan badan hukum. Pihak yang melakukan kejahatan lingkungan tidak mendapatkan stigma yang berat dari masyarakat; pemberian label sebagai pihak yang harus bertanggung jawab tidak melekat kuat. Hal ini pula yang menjadikan ciri kejahatan lingkungan sebagai kejahatan yang tidak memunculkan reaksi sosial secara langsung.
Dalam kasus yang terjadi di wilayah perairan Bangka Belitung, kejahatan lingkungan yang terjadi dilakukan oleh suatu badan perusahaan atau sekelompok orang. Akan tetapi pernyataan ini kemudian menjadi bias karena timbulnya masalah baru yang menjadi pertanyaan. Berkaitan dengan kejahatan korporasi, yang menjadi pertanyaan adalah siapa pelakunya dan siapa eksekutornya? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apa yang menjadi alasan bahwa kegiatan penambangan timah di Kepualauan Bangka Belitung itu adalah suatu kejahatan lingkungan atau kejahatan korporasi? Apakah kriteria korban dan pelaku terkait kasus penambangan timah ini dapat dijadikan dasar untuk menegaskan bahwa aktivitas masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung adalah kejahatan lingkungan? Dan pertanyaan yang terakhir adalah, yang mungkin menjadi penentu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, apakah kegiatan penambangan timah tersebut memang memberikan suatu dampak kerugian bagi masyarakat, terutama masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung?





PEMBAHASAN

Penambangan timah yang marak terjadi di lingkungan laut Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilakukan oleh PT. Timah, beberapa perusahaan swasta skala menengah yang mendapat izin resmi, masyarakat setempat yang beralih profesi sebagai pelaku tambang inkonvensional (TI) apung dan beberapa pihak yang melakukan kegiatan penambangan secara ilegal (cukong tambang timah).
Kegiatan menambang ini dilakukan untuk memenuhi produksi timah. PT. Timah yang mendapatkan wewenang ini melakukan penggalian timah selama puluhan tahun di daerah perariran dan daratan Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan semakin meluas ke wilayah laut. Hal ini dilakukan karena adanya pertimbangan bahwa penggalian timah di laut memakan biaya yang lebih rendah dari pada di daratan. Selain itu, hasil timah yang didapat dari penggalian lepas pantai juga memiliki keunggulan dari segi kuantitas sehingga mengundang sejumlah perusahaan swasta yang mengklaim memiliki izin resmi untuk ikut melakukan penambangan. Pengerukan tanah menyebabkan habitat di laut terganggu sehingga mengganggu kegiatan para nelayan. Kerugian yang ditimbulkan karena semakin sulitnya mendapatkan ikan, menjadi faktor utama bagi beberapa nelayan untuk beralih profesi menjadi penambang timah inkonvensional, dengan alasan manusiawi, yaitu alasan untuk meneruskan hidup. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara tidak langsung mempercepat dan memperparah kerusakan lingkungan yang berdampak buruk bagi lingkungan laut dan masyarakat itu sendiri.
Penambangan yang semakin marak dilakukan secara masal sejak tahun 2006 ini juga merupakan dampak dari diberlakukannya izin untuk melakukan penambangan timah skala menengah dan skala kecil atau inkonvensional oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Indra Ambalika Syari, di tulis dalam Rubrik Opini, Harian Bangka Pos, diakses dari http://www.ubb.ac.id/]. Izin ini mengakibatkan kegiatan penambangan menjadi semakin membabi buta untuk memenangkan persaingan di antara para pengusaha tambang timah. Dengan data ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa badan hukum tertentu juga memiliki andil atas kegiatan penambangan timah yang terjadi di Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini menjadi alasan bahwa praktek penambangan timah di wilayah laut Bangka Belitung yang merugikan lingkungan alam dan masyarakat di dalamnya adalah suatu kejahatan lingkungan: kejahatan korporasi.
Pihak yang dirugikan secara langsung dari kegiatan menambang timah di laut adalah para nelayan (masyarakat) dan juga lingkungan lautnya sendiri. Penambangan timah telah merubah bentuk struktur tanah dan garis pantai yang mengarah ke daratan. Pengerukan tanah dan pembuangan limbah juga menyebabkan sedimentasi yang merusak habitat terumbu karang dan memicu berkembangnya habitat alga yang merugikan. Rusaknya habitat terumbu karang juga berdampak kepada hilangnya sumber daya ikan karena terumbu karang adalah salah satu tempat utama bagi ikan-ikan untuk hidup dan berkembang biak. Ikan semakin sedikit; para nelayan kehilangan mata pencaharian. Masalah kemiskinan di daerah Bangka Belitung pun semakin meningkat. Para nelayan melakukan aksi dengan menyerang beberapa kapal besar penyedot timah yang beroperasi di lepas pantai tempat kawasan para nelayan melaut. Hal ini menegaskan bahwa para nelayan merasa sangat dirugikan oleh aksi penambangan timah tersebut. Meskipun banyak nelayan yang membanting setir menjadi penambang timah inkonvesional, tetapi sebagian besar mengaku bahwa masalah ini sebenarnya berakar pada kegiatan penambangan timah yang telah merusak laut sehingga menghilangkan mata pencaharian mereka. Pilihan untuk beralih profesi hanyalah sebuah tuntutan untuk melanjutkan hidup. [Yulvianus Harjono, loc.cit., hlm. 1 dan 15]
Dalam kejahatan korporasi, terdapat aspek-aspek yang menjadi fokus perhatian, diantaranya adalah aspek hukum dari kejahatan lingkungan yang bersangkutan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT. Timah memang tidak melanggar hukum karena telah mendapatkan izin resmi. Selain itu kegiatan penambangan dilakukan di wilayah yang memang dikhususkan untuk penambangan. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah apabila kerusakan yang ditimbulkan telah melampaui batas. Pengelolaan yang tidak dilakukan secara baik bisa menjadi suatu tindakan yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam dokumen AMDAL dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seharusnya PT. Timah menerapkan sistem pengolahan yang ramah lingkungan (ecological modernization) dan tidak merusak lingkungan alam dengan melakukan rehabilitasi yang layak dan memadai sesuai hukum yang telah ditentukan. Hal ini diperlukan agar lingkungan laut dapat tetap terjaga dan bisa dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang (sustainable development).
Praktek penambangan yang dilakukan oleh cukong tambang timah jelas melanggar Undang-Undang yang berlaku. Suripto, seorang pengamat intelijen, berpendapat bahwa aksi penambangan liar di Bangka Belitung adalah ulah dari para cukong yang beroperasi di Jakarta. Beberapa perusahaan melakukan suatu konspirasi dengan membuat konsorsium untuk menguasai eksplorasi serta eksploitasi timah. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan para mafia yang berusaha menguasai semua pengusaha yang ada di Bangka Belitung [Harian Bangka Pos, Kamis, 14 Agustus 2008]. Hal ini terkait dengan aspek penting dalam menelaah suatu kejahatan korporasi, yaitu aspek dukungan kelompok serta hubungan pelaku dan tingkah lakunya yang dianggap sah, berkedok seakan-akan ingin memberikan kontrol terhadap harga timah di pasar internasional, para cukong profesional ini seakan-akan melakukan apa yang semestinya dilakukan (tingkah laku dianggap sah) serta mendapat dukungan dari kelompok mereka, bahkan salah satunya adalah dari Pemerintah di daerah Bangka Belitung sendiri.
Kegiatan penambangan timah yang jelas merusak lingkungan laut dan melanggar ketentuan Undang-Undang, yang terjadi di Bangka Belitung tersebut, sayangnya tidak mendapatkan reaksi sosial yang kuat dari masyarakat. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa, masyarakat yang telah beralih profesi menjadi penambang tetap melakukan aktivitas mengeruk dan menyedot tanah untuk menyaring timah, meskipun air laut sudah semakin keruh dan berwarna hitam. Ini menjadi sesuatu yang dilematis, baik bagi masyarakat sendiri maupun Pemerintah. Bagi masyarakat, kalau bukan menambang, mereka tidak tahu mata pencaharian alternatif yang bisa dijadikan untuk pegangan dalam menyambung hidup, sementara kegiatan melaut dan mencari ikan sudah tidak menjanjikan lagi. Namun melakukan kegiatan menambang juga mempunyai kerugian seperti kehilangan nyawa atau tertangkap petugas yang sedang melakukan razia terhadap cukong atau pelaku tambang timah ilegal. Bagi Pemerintah Daerah dan Pusat, sesuatu yang menjadi dilematis adalah mengenai kebijakan yang akan diambil. Apabila Pemerintah mengeluarkan pelarangan untuk melakukan kegiatan menambang, demonstrasi masa untuk menuntut diberlakukannya izin tersebut akan meledak secara cepat. Akan tetapi, apabila kegiatan ini diizinkan, penambangan timah semakin mambabi buta dan menyebabkan kerusakan pada lingkungan laut. [Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010, hlm. 15]
Minimnya kesadaran dan reaksi sosial dari masyarakat ini menjadikan alasan bahwa praktek penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung adalah suatu tindak kejahatan terhadap lingkungan. Karena berbeda dengan kejahatan konvensional, kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang memiliki karakteristik yang unik, diantaranya adalah reaksi sosial yang diberikan masyarakat tidak secara langsung. Dampak dari kegiatan ini baru akan dirasakan sekitar puluhan tahun yang akan datang, misalnya di masa ketika seluruh lingkungan laut di Bangka Belitung rusak total dan persediaan timahnya sudah tidak ada. Oleh karena itu, kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan timah di wilayah laut Kepulauan Bangka Belitung memberikan kerugian yang besar bagi masyarakat setempat














PENUTUP

Kesimpulan dan Saran
Seluruh aktivitas pertambangan tidak ada yang tidak merusak lingkungan alam. Begitu juga apa yang terjadi di wilayah laut Kepulauan Bangka Belitung. Penyedotan timah yang dilakukan secara terus menerus telah menyebabkan kerusakan yang parah bagi lingkungan laut. Kerusakan itu sudah mulai terlihat dengan jelas dan juga sudah dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti mulai sedikitnya sumber daya ikan yang berdampak buruk pada aktivitas para nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Masalah dilematis yang timbul kemudian, yang dihadapi oleh Pemerintah dan masyarakat, menjadi cerminan bahwa gagalnya Pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat di daerah Bangka Belitung. Hal ini seharusnya menjadi “PR” bagi Pemerintah untuk terus giat mencarikan solusi alternatif yang baik untuk menanggulangi masalah ini agar tidak berlanjut secara terus-menerus.
Hal yang menjadi saran adalah seyogyanya Pemerintah menegakkan hukum dengan adil dan tegas serta tak pandang buluh. Pendataan dan penelusuran mengenai mafia atau cukong yang menjadi dalang dari tindakan penambangan timah ilegal harus segera dilakukan dengan efektif dan seefisien mungkin agar masalah tidak menjadi krusial. Selain itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penambangan timah tanpa peralatan lengkap. Hal ini menjadi pertimbangan agar supaya hanya PT. Timah saja lah yang menjadi perusahaan yang memiliki wewenang untuk melakukan kegiatan penambangan timah sehingga aksi membabi buta dari masyarakat dapat berkurang. Penemuan mata pencaharian alternatif merupakan tugas utama Pemerintah, dan tentunya hal ini harus didahulukan dari pada yang lain. Alternatif dapat berupa mengoptimalkan masyarakat setempat dalam pemanfaatan rumpon dan meningkatkan penjagaan dan pelestarian lingkungan laut.
Pengawasan dan rehabilitasi lingkungan laut harus dioptimalkan. Langkah ini harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang terkait dan yang memiliki keinginan untuk menuju keadaan yang lebih baik. Melibatkan masyarakat, tim ahli dari Universitas Bangka Belitung dan Universitas lainnya atau dari berbagai LSM, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung adalah suatu pertimbangan yang sangat dianjurkan dengan harapan akan menemukan sebuah susunan konsep yang sempurna untuk menanggulangi masalah kerusakan lingkunan laut di Kepulauan Bangka Belitung.
Jika tidak ada langkah kongkrit serta ketegasan dari Pemerintah, bumi Laskar Pelangi, Kepulauan Bangka Belitung, hanya tinggal menunggu detik-detik untuk menuju kehancuran ekosistem lautnya. Yang tersisa hanyalah lingkungan laut yang tercemar, kelangkaan sumber daya ikan, keterbelakangan anak-anak karena kekurangan protein, serta masalah kemiskinan yang tak kunjung usai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar